Oleh : Rudy Efendy
RINPOCHE ** baru selesai memimpin PUJA ketika tiba-tiba Iphone yang tersimpan dalam jubah panjangku
bergetar perlahan. Kulepas jubah panjangku, menggantungkannya di samping ruang
dharmasala dan melihat pesan Whats app yang masuk.
“Besok aku tiba di Nepal. Kamu mau
nitip apa dari Indonesia?” begitu bunyi pesan yang masuk.
Sambil melangkah menuju kamarku
yang sederhana di ujung ruang dharmasala, aku menghela napas panjang. Berat
rasanya. Reza. Lelaki itu dari dulu selalu begitu. Memberikan surprise. Tanpa berpikir
bagaimana reaksi orang yang menghadapinya.
Seperti sekarang, mendadak saja dia memberitahukan besok akan terbang
menemuiku di sini..…….
Mendadak saja kepalaku berdenyut.
Kutarik napas panjang. Tetapi memang semua ini tidak boleh mengambang. Dan Reza
berhak mendapat jawaban, meski jawaban itu belum tentu sesuai keinginannya…
Samar-samar ucapan Lama ** Tetsu pada saat aku berdiskusi kemarin
dengannya terngiang-ngiang kembali…..
“It is all about you. No one can decide for you. Life is an option. To
whom you should dedicate and bestow your love and compassion is also an option.
Choose what is best for you and
right for other people as well…”
Ya,
hidup memang adalah pilihan… Aku mengganti jubahku dengan pakaian tidur yang
longgar, beranjak ke tempat tidur. Duduk di pinggir ranjang, kulipat kedua tungkai
kakiku. Kupejamkan mataku dan mulai berlatih meditasi metta bhavana. ****
Aku tersenyum kecil melihat sosok yang berdiri di depan pintu
dharmasala sembari melipat kedua lenganku di depan dada , menahan angin dingin
lereng gunung Himalaya yang menerpa lembut wajahku. Sosok tinggi besar
berbalut jacket tebal dengan syal lembut biru gelap di leher dan ransel crumpler di pundaknya itu memang tidak berubah. Reza masih
seperti dulu. Sepasang alisnya masih hitam lebat. Rahang wajahnya masih kokoh
keras seperti tiga tahun yang lalu. Meski wajahnya menunjukkan sedikit
kelelahan, tapi tetap tidak mengurangi ketampanannya.
"Aku baru balik minggu lalu,
Ris. Aku susul ke sini langsung dari jakarta. Sengaja
tidak mengabari kamu dulu. Biar surprise…..Bagaimana kabarmu?" godanya
sambil tersenyum nakal.
"Bagaimana menurutmu?
Menurutmu, aku baik-baik saja?" Aku balik bertanya padanya.
Reza tertawa kecil. Suara tawanya
juga masih sama seperti dulu. "Baik, wajahmu kelihatan cerah sekali.
Dan...tambah cantik." dikerdipkannya matanya dengan nakal.
Aku terdiam. Tiga tahun yang lalu,
wajah itu terlihat begitu rupawan dan memikat hati. Begitu membuat hati senang
setiap melihatnya. Pelipur lara.
Dulu, setiap kali stress habis ribut sama teman sekerjaku, ke Reza lah
aku mengadu. Saat ribut dengan papa ke Rezalah aku cerita. Reza. Reza.
Dimana-mana ada dia. Kita selalu meluangkan waktu bersama-sama. Kalau ada Reza,
pasti ada aku.
Meski aku dan Reza tidak pernah mengatakan kita jadian dan pacaran,
tetapi kita tak pernah berpisah dalam setiap waktu, sehingga teman-teman sudah
bisa menyimpulkan sendiri...
"Hey, jangan melamun..."
suara tegurannya membuyarkan lamunanku. "Aku tidak diundang masuk?"
tanyanya, sedikit gemetaran, menahan hawa dingin yang menusuk.
Aku segera mempersilahkannya masuk ke dalam ruang dharmasala. Reza
celingak celingkuk, menoleh kiri dan kanan.
"Boleh kan kamu menerima tamu pria? Lama baik-baik saja ?"
tanyanya ragu-ragu
"Nggak apa-apa, Rez. Tapi kita
ngobrol di teras samping saja. Udara tidak dingin kok di sana. Biasanya
sore-sore begini Rinpoche dan Lama
suka diskusi Dhamma dengan umat asing. Tapi hari ini Rinpoche sedang pergi ke
kota membeli barang persembahan, jadi kita bisa bebas ngobrol di sana."
ujarku sambil melangkahkan kaki. Reza membuntuti dari belakang.
"Ris, apa tante San sudah
cerita......" tanya Reza perlahan begitu duduk. Reza sengaja tidak
menyelesaikan kalimatnya. Dipandangnya wajahku
Aku membuang pandangan jauh-jauh.
Ya, mama beberapa hari yang lalu telpon, tante Niar mau datang dari New York
melamarku. Tapi karna tante masih sibuk dengan restaurantnya di sana karna koki
andalannya sedang sakit, terpaksa Reza yang ke Jakarta sendirian, ibunya akan
menyusul beberapa hari kemudian.
Tiga tahun. Bukan waktu yang lama.
Reza dan aku masih tetap kontak via telpon dan email. Sering chatting melalui
Whats app juga.
Tapi........ tanpa sadar aku menghela napas. Kemana perginya niat
mengarungi kehidupan bersama dengan lelaki yang sekarang duduk di depanku ini.
Dulu, pada saat papa melarang keras hubunganku dengan Reza karna beda
agama, aku dan Reza sampai bela-belain backstreet. Malah hampir diusir keluar
dari rumah kalau mama tidak menengahi. Hubungan kita sempat renggang, tetapi ketika Papa sudah meninggal karna
penyakit jantung yang dideritanya, Reza kembali mendekatiku. Dan aku kembali
menjalani hubungan dengannya. Sampai akhirnya, tiga tahun yang lalu dia dipindahkan oleh perusahaan
tempatnya bekerja ke NY, sebagai tenaga ahli yang memberikan financial advisory utk orang Asia yang
menetap di sana.
Tiga tahun yang lalu. Apakah waktu
sudah menelan semua perasaanku pada lelaki ini?
Sekali lagi aku menghela napas. Aku
berusaha mencari-cari pesona sosok yang sekarang duduk di hadapanku ini. Semua
berubah begitu tawar sekarang. Reza masih tampan seperti dulu. Tapi perasaanku
padanya sangat berbeda dibandingkan sekarang..
"Risa...."sentuhan di
punggung telapak tangan menyadarkanku. Perlahan, kutarik tanganku. Aku beranjak
dari tempat duduk. Kupalingkan wajahku, menatap panorama lereng gunung yang
indah di sore hari. Salju putih yang menutupi pegunungan Himalaya terlihat
dengan jelas
"Kenapa, Ris? Ada apa?"
tanya Reza, tanpa menyembunyikan nada kekhawatirannya. "Kamu ragu? Hal
yang lumrah kalau kamu ragu, Ris. Semua orang mengalaminya. Tapi... bukankah
ini yang kita tunggu-tunggu selama tiga tahun?"
Aku terdiam. “Ris..”
Aku menguatkan hatiku, menoleh dan
menatap wajahnya lekat-lekat. “Aku berpikir……. aku tidak bisa menikah, Rez…”
gumamku pelan.
“Kenapa?” sergah lelaki itu dengan
raut wajah terpana. Ada binar kepanikan bercampur kaget membias di wajahnya
yang tampan.
“Sudah lama sebetulnya aku ingin
mengutarakan hal ini. Menunggu waktu yang tepat. Tapi kamu men-arrange semuanya
secara diam-diam, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada aku untuk
menjelaskannya…” Kutelan ludahku dengan susah payah. Lidahku terasa kelu.
“Tetapi… kenapa, Risa?” Sosok
tinggi gagah itu berdiri mematung. Menatapku dengan sorot mata menuntut
penjelasan.
Kutarik napas panjang. “Aku merasa damai di sini. Banyak hal
yang aku pelajari dari Rinpoche dan Lama yang membuka pikiranku tentang cinta
dan kasih sayang. Kasih sayang terhadap semua makhluk tanpa kemelekatan. Tanpa
nafsu dan keterikatan.”
Sekarang lelaki itu terpana
menatapku tak percaya. Guratan wajahnya mengeras. Rahangnya yang kokoh terkatup
kaku dibias pendar cahaya mentari menjelang senja. Sinar matanya memandangku tidak percaya. Lama dia tidak
berkata-kata. Akhirnya dia berjalan ke tempat duduknya kembali dan
menghempaskan dirinya dengan berat. Seolah-olah habis membawa beban berton-ton beratnya .
“Kesalahanku mengijinkan kamu ke
sini, meninggalkanku terlalu lama, Ris.
Meninggalkan segala keduniawiaan. Harusnya saat om Malwin meninggal,
tidak kuijinkan kamu ke sini…Harusnya kucegah…..” gumamnya lirih dengan pandangan menerawang, seakan-akan
berbicara pada dirinya sendiri. Ada kesedihan dan keputusasaan dalam suaranya.
Kuhela napas. Reza tidak bersalah.
Dia lelaki yang baik. Sangat family man. Figur yang diidam-idamkan oleh semua
wanita baik-baik yang ingin berkeluarga, melahirkan anak dan membesarkan anak
buat suaminya.
Tetapi…. sudah lama keinginan itu raib dari dalam pikiranku. Bukan hidup
seperti itu yang membuatku bahagia. Selama tinggal di dharmasala , bersama sama
dengan umat dari berbagai bangsa yang tinggal di sini, belajar dhamma dengan
semua Lama dan Rinpoche, membuatku melihat kebahagiaan dan hidup dari sisi yang
sangat berbeda.
Saat-saat yang terlewatkan sebagai
relawan mengajar anak-anak desa di lereng gunung Himalaya, membantu penduduk
desa membangun dharmasala desa dan kegiatan-kegiatan rohaniah lainnya,
membuatku benar-benar merasa hidupku lebih berarti.
Selama hampir tiga tahun ini setiap hari menyaksikan kehidupan penduduk
lereng gunung yang begitu lugu dan tidak mengutamakan materi, melihat senyum
anak-anak gunung dengan pipi rona memerah
membuatku benar-benar enggan meninggalkan tempat ini. Dan ingin terus menanam
karma baik di sini.
Kuhampiri lelaki yang duduk
tercenung itu. Oh.. bagaimana aku harus mendedikasikan rasa cinta dan kasih
sayangku hanya pada lelaki ini, sementara ada rasa cinta kasih yang tak
terbatas yang jauh lebih besar ……. yang jauh dari kondisi dan kemelekatan…
Kusentuh pangkal tangannya dan
kugenggam erat.
“Maafkan aku Rez. Aku benar-benar
tidak berniat menyakitimu. Tapi… ..” ucapanku terhenti. Berusaha mengerti
perasaan hatinya “Aku betah tinggal di sini, dan tidak berpikir untuk menjalani
kehidupan berumah tangga. Segala sesuatu yang terjadi membuatku merasa bagian dari kehidupan di sini. Aku tidak
bisa membayangkan meninggalkan semua yang di sini dan kembali ke Indonesia,
menikah dan melahirkan anak-anak buatmu. “ lanjutku perlahan. “Aku merasa
tempat ini, yang sekarang aku lakukan, adalah panggilan hidupku.”
Reza menggenggam erat jari jemariku tanganku. Terpekur diam.
Dipandangnya wajahku. Lama. Berusaha mencari-cari sekelebat harapan untuk membujukku kembali. Tetapi
begitu dia melihat sinar keyakinan yang terpancar dari dalam mataku, lelaki itu
menyerah. Sepasang matanya yang tadinya masih menyiratkan harapan, meredup dan
padam ditelan kekecewaan.
“Cobalah tinggal
beberapa hari di sini, Rez. Rinpoche dan Lama pasti senang berkenalan denganmu.
Kamu juga bisa melihat kehidupan di lereng gunung Himalaya yang berbeda
dibandingkan kamu stay di hotel…” ujarku perlahan, membuyarkan suasana yang
tiba-tiba menjadi hening dan kaku di antara kita. Lembut, kutarik lepas genggaman
tangannya.
Lelaki itu beranjak berdiri. “Kamu
yakin dengan keputusanmu, Ris? Kamu sudah mempertimbangkan semuanya baik-baik?
Tante sudah tahu keputusanmu untuk hidup membiara? “
Aku menganggukkan kepala. “Nanti
aku akan jelaskan semua, Rez…Sekali lagi, aku minta maaf.. Tadinya aku mau
menjelaskan semua kepadamu… Tapi tiba-tiba kamu muncul di sini.. “ Ucapanku
terhenti. Tanpa meminta persetujuanku, Reza memelukku ke dalam dekapannya. Ada
kehangatan dalam pelukannya. Dulu, aku selalu merasa nyaman dalam dekapannya.
Tapi sekarang pelukannya buatku lebih sebagai pelukan seorang teman baik. Teman
karib yang sudah tiga tahun tidak bertemu.
“I will miss you….” Bisiknya
perlahan sambil melepaskan pelukannya.
Aku tertawa kecil. “ Ayolah, kamu
akan menjadi rebutan cewek-cewek cantik begitu balik ke US… Belum lagi yang antri di
Jakarta…”
Reza mengangkat kedua bahunya. “
Yah… takes time lah Ris. Don’t know if I really
can lose you… Let us both see… “ Ditepuknya celana jeans tebalnya.
“Kamu temanin aku sebentar ambil beberapa foto di lereng gunung ya. Buat
kenang-kenangan saja kalau aku pernah mengunjungi Himalaya. Mungkin besok aku
balik ke Indo.. “
Aku mengangguk mengiyakan, dan
menghela napas panjang. Sambil berjalan keluar dari dharmasala aku berdoa dalam
hati……Semoga Reza benar-benar bisa mengerti, dan semoga aku diberi kekuatan
untuk menjelaskannya semua nanti ke Mama.
Semoga semua makhluk hidup
berbahagia. Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.
December
09,2011
*
Lama : bhiksu Buddhis Tibetan
*
Rinpoche : bhiksu/pemimpin spiritual yang dihormati dalam buddhis Tibetan.