Thursday, December 8, 2011

TENTANG CINTA KASIH


               Oleh : Rudy Efendy

                RINPOCHE ** baru selesai memimpin PUJA ketika tiba-tiba Iphone  yang tersimpan dalam jubah panjangku bergetar perlahan. Kulepas jubah panjangku, menggantungkannya di samping ruang dharmasala dan melihat pesan Whats app yang masuk.
               “Besok aku tiba di Nepal. Kamu mau nitip apa dari Indonesia?” begitu bunyi pesan yang masuk.
                Sambil melangkah menuju kamarku yang sederhana di ujung ruang dharmasala, aku menghela napas panjang. Berat rasanya. Reza. Lelaki itu dari dulu selalu begitu. Memberikan surprise. Tanpa berpikir bagaimana reaksi orang yang menghadapinya.
Seperti sekarang, mendadak saja dia memberitahukan besok akan terbang menemuiku di sini..…….
                 Mendadak saja kepalaku berdenyut. Kutarik napas panjang. Tetapi memang semua ini tidak boleh mengambang. Dan Reza berhak mendapat jawaban, meski jawaban itu belum tentu sesuai keinginannya…
Samar-samar ucapan  Lama ** Tetsu pada saat aku berdiskusi kemarin dengannya terngiang-ngiang kembali…..
                  “It is all about you. No one can decide for you. Life is an option. To whom you should dedicate and bestow your love and compassion is also an option. Choose what is best  for you and right for other people as well…”
                  Ya, hidup memang adalah pilihan… Aku mengganti jubahku dengan pakaian tidur yang longgar, beranjak ke tempat tidur. Duduk di pinggir ranjang, kulipat kedua tungkai kakiku. Kupejamkan mataku dan mulai berlatih meditasi metta bhavana.   ****

                    Aku tersenyum kecil melihat  sosok yang berdiri di depan pintu dharmasala sembari melipat kedua lenganku di depan dada , menahan angin dingin lereng gunung Himalaya yang menerpa lembut wajahku. Sosok tinggi besar berbalut jacket tebal dengan syal lembut biru gelap di leher dan ransel crumpler di pundaknya itu memang tidak berubah. Reza masih seperti dulu. Sepasang alisnya masih hitam lebat. Rahang wajahnya masih kokoh keras seperti tiga tahun yang lalu. Meski wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan, tapi tetap tidak mengurangi ketampanannya.
                    "Aku baru balik minggu lalu, Ris.  Aku susul ke sini langsung dari jakarta. Sengaja tidak mengabari kamu dulu. Biar surprise…..Bagaimana kabarmu?" godanya sambil tersenyum nakal.
                    "Bagaimana menurutmu? Menurutmu, aku baik-baik saja?" Aku balik bertanya padanya.
                    Reza tertawa kecil. Suara tawanya juga masih sama seperti dulu. "Baik, wajahmu kelihatan cerah sekali. Dan...tambah cantik." dikerdipkannya matanya dengan nakal.
                    Aku terdiam. Tiga tahun yang lalu, wajah itu terlihat begitu rupawan dan memikat hati. Begitu membuat hati senang setiap melihatnya. Pelipur lara.
Dulu, setiap kali stress habis ribut sama teman sekerjaku, ke Reza lah aku mengadu. Saat ribut dengan papa ke Rezalah aku cerita. Reza. Reza. Dimana-mana ada dia. Kita selalu meluangkan waktu bersama-sama. Kalau ada Reza, pasti ada aku.
Meski aku dan Reza tidak pernah mengatakan kita jadian dan pacaran, tetapi kita tak pernah berpisah dalam setiap waktu, sehingga teman-teman sudah bisa menyimpulkan sendiri...
                     "Hey, jangan melamun..." suara tegurannya membuyarkan lamunanku. "Aku tidak diundang masuk?" tanyanya, sedikit gemetaran, menahan hawa dingin yang menusuk.
                     Aku segera mempersilahkannya masuk ke dalam ruang dharmasala. Reza celingak celingkuk, menoleh kiri dan kanan.
                     "Boleh kan kamu menerima tamu pria? Lama baik-baik saja ?" tanyanya ragu-ragu
                     "Nggak apa-apa, Rez. Tapi kita ngobrol di teras samping saja. Udara tidak dingin kok di sana. Biasanya sore-sore begini Rinpoche  dan Lama suka diskusi Dhamma dengan umat asing. Tapi hari ini Rinpoche sedang pergi ke kota membeli barang persembahan, jadi kita bisa bebas ngobrol di sana." ujarku sambil melangkahkan kaki. Reza membuntuti dari belakang.
                      "Ris, apa tante San sudah cerita......" tanya Reza perlahan begitu duduk. Reza sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya. Dipandangnya wajahku
                      Aku membuang pandangan jauh-jauh. Ya, mama beberapa hari yang lalu telpon, tante Niar mau datang dari New York melamarku. Tapi karna tante masih sibuk dengan restaurantnya di sana karna koki andalannya sedang sakit, terpaksa Reza yang ke Jakarta sendirian, ibunya akan menyusul beberapa hari kemudian.
                      Tiga tahun. Bukan waktu yang lama. Reza dan aku masih tetap kontak via telpon dan email. Sering chatting melalui Whats app juga.
Tapi........ tanpa sadar aku menghela napas. Kemana perginya niat mengarungi kehidupan bersama dengan lelaki yang sekarang duduk di depanku ini.
                      Dulu, pada saat papa melarang keras hubunganku dengan Reza karna beda agama, aku dan Reza sampai bela-belain backstreet. Malah hampir diusir keluar dari rumah kalau mama tidak menengahi. Hubungan kita sempat renggang, tetapi ketika Papa sudah meninggal karna penyakit jantung yang dideritanya, Reza kembali mendekatiku. Dan aku kembali menjalani hubungan dengannya. Sampai akhirnya, tiga tahun yang lalu dia dipindahkan oleh perusahaan tempatnya bekerja ke NY, sebagai tenaga ahli yang memberikan financial advisory utk orang Asia yang menetap di sana.
                       Tiga tahun yang lalu. Apakah waktu sudah menelan semua perasaanku pada lelaki ini?
Sekali lagi aku menghela napas. Aku berusaha mencari-cari pesona sosok yang sekarang duduk di hadapanku ini. Semua berubah begitu tawar sekarang. Reza masih tampan seperti dulu. Tapi perasaanku padanya sangat berbeda dibandingkan sekarang..
                        "Risa...."sentuhan di punggung telapak tangan menyadarkanku. Perlahan, kutarik tanganku. Aku beranjak dari tempat duduk. Kupalingkan wajahku, menatap panorama lereng gunung yang indah di sore hari. Salju putih yang menutupi pegunungan Himalaya terlihat dengan jelas
                        "Kenapa, Ris? Ada apa?" tanya Reza, tanpa menyembunyikan nada kekhawatirannya. "Kamu ragu? Hal yang lumrah kalau kamu ragu, Ris. Semua orang mengalaminya. Tapi... bukankah ini yang kita tunggu-tunggu selama tiga tahun?"
                        Aku terdiam. “Ris..”
                       Aku menguatkan hatiku, menoleh dan menatap wajahnya lekat-lekat. “Aku berpikir……. aku tidak bisa menikah, Rez…” gumamku pelan.
                      “Kenapa?” sergah lelaki itu dengan raut wajah terpana. Ada binar kepanikan bercampur kaget membias di wajahnya yang tampan.
                      “Sudah lama sebetulnya aku ingin mengutarakan hal ini. Menunggu waktu yang tepat. Tapi kamu men-arrange semuanya secara diam-diam, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada aku untuk menjelaskannya…” Kutelan ludahku dengan susah payah. Lidahku terasa kelu.
                        “Tetapi… kenapa, Risa?” Sosok tinggi gagah itu berdiri mematung. Menatapku dengan sorot mata menuntut penjelasan.
                          Kutarik napas panjang. “Aku merasa damai di sini. Banyak hal yang aku pelajari dari Rinpoche dan Lama yang membuka pikiranku tentang cinta dan kasih sayang. Kasih sayang terhadap semua makhluk tanpa kemelekatan. Tanpa nafsu dan keterikatan.”
                          Sekarang lelaki itu terpana menatapku tak percaya. Guratan wajahnya mengeras. Rahangnya yang kokoh terkatup kaku dibias pendar cahaya mentari menjelang senja. Sinar matanya memandangku  tidak percaya. Lama dia tidak berkata-kata. Akhirnya dia berjalan ke tempat duduknya kembali dan menghempaskan dirinya dengan berat. Seolah-olah  habis membawa beban  berton-ton beratnya .
“Kesalahanku mengijinkan kamu ke sini, meninggalkanku terlalu lama, Ris.  Meninggalkan segala keduniawiaan. Harusnya saat om Malwin meninggal, tidak kuijinkan kamu ke sini…Harusnya kucegah…..”  gumamnya lirih dengan pandangan menerawang, seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri. Ada kesedihan dan keputusasaan dalam suaranya.
                            Kuhela napas. Reza tidak bersalah. Dia lelaki yang baik. Sangat family man. Figur yang diidam-idamkan oleh semua wanita baik-baik yang ingin berkeluarga, melahirkan anak dan membesarkan anak buat suaminya.
                           Tetapi…. sudah lama keinginan itu  raib dari dalam pikiranku. Bukan hidup seperti itu yang membuatku bahagia. Selama tinggal di dharmasala , bersama sama dengan umat dari berbagai bangsa yang tinggal di sini, belajar dhamma dengan semua Lama dan Rinpoche, membuatku melihat kebahagiaan dan hidup dari sisi yang sangat berbeda.
                           Saat-saat yang terlewatkan sebagai relawan mengajar anak-anak desa di lereng gunung Himalaya, membantu penduduk desa membangun dharmasala desa dan kegiatan-kegiatan rohaniah lainnya, membuatku benar-benar merasa hidupku lebih berarti.
                           Selama hampir tiga tahun ini setiap hari menyaksikan kehidupan penduduk lereng gunung yang begitu lugu dan tidak mengutamakan materi, melihat senyum anak-anak gunung dengan pipi rona  memerah membuatku benar-benar enggan meninggalkan tempat ini. Dan ingin terus menanam karma baik di sini.
                            Kuhampiri lelaki yang duduk tercenung itu. Oh.. bagaimana aku harus mendedikasikan rasa cinta dan kasih sayangku hanya pada lelaki ini, sementara ada rasa cinta kasih yang tak terbatas yang jauh lebih besar ……. yang jauh dari kondisi dan kemelekatan…
                            Kusentuh pangkal tangannya dan kugenggam erat.
                           “Maafkan aku Rez. Aku benar-benar tidak berniat menyakitimu. Tapi… ..” ucapanku terhenti. Berusaha mengerti perasaan hatinya “Aku betah tinggal di sini, dan tidak berpikir untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Segala sesuatu yang terjadi membuatku merasa  bagian dari kehidupan di sini. Aku tidak bisa membayangkan meninggalkan semua yang di sini dan kembali ke Indonesia, menikah dan melahirkan anak-anak buatmu. “ lanjutku perlahan. “Aku merasa tempat ini, yang sekarang aku lakukan, adalah panggilan hidupku.”
                              Reza menggenggam erat jari jemariku tanganku. Terpekur diam. Dipandangnya wajahku. Lama. Berusaha mencari-cari sekelebat  harapan untuk membujukku kembali. Tetapi begitu dia melihat sinar keyakinan yang terpancar dari dalam mataku, lelaki itu menyerah. Sepasang matanya yang tadinya masih menyiratkan harapan, meredup dan padam ditelan kekecewaan.
          “Cobalah tinggal beberapa hari di sini, Rez. Rinpoche dan Lama pasti senang berkenalan denganmu. Kamu juga bisa melihat kehidupan di lereng gunung Himalaya yang berbeda dibandingkan kamu stay di hotel…” ujarku perlahan, membuyarkan suasana yang tiba-tiba menjadi hening dan kaku di antara kita. Lembut, kutarik lepas genggaman tangannya.
             Lelaki itu beranjak berdiri. “Kamu yakin dengan keputusanmu, Ris? Kamu sudah mempertimbangkan semuanya baik-baik? Tante sudah tahu keputusanmu untuk hidup membiara? “
              Aku menganggukkan kepala. “Nanti aku akan jelaskan semua, Rez…Sekali lagi, aku minta maaf.. Tadinya aku mau menjelaskan semua kepadamu… Tapi tiba-tiba kamu muncul di sini.. “ Ucapanku terhenti. Tanpa meminta persetujuanku, Reza memelukku ke dalam dekapannya. Ada kehangatan dalam pelukannya. Dulu, aku selalu merasa nyaman dalam dekapannya. Tapi sekarang pelukannya buatku lebih sebagai pelukan seorang teman baik. Teman karib yang sudah tiga tahun tidak bertemu.
                “I will miss you….” Bisiknya perlahan sambil melepaskan pelukannya.
                 Aku tertawa kecil. “ Ayolah, kamu akan menjadi rebutan cewek-cewek cantik begitu balik ke US… Belum lagi yang antri di Jakarta…”
                  Reza mengangkat kedua bahunya. “ Yah… takes time lah Ris. Don’t know if I really can lose you… Let us both see… “ Ditepuknya  celana jeans tebalnya. “Kamu temanin aku sebentar ambil beberapa foto di lereng gunung ya. Buat kenang-kenangan saja kalau aku pernah mengunjungi Himalaya. Mungkin besok aku balik ke Indo.. “
                  Aku mengangguk mengiyakan, dan menghela napas panjang. Sambil berjalan keluar dari dharmasala aku berdoa dalam hati……Semoga Reza benar-benar bisa mengerti, dan semoga aku diberi kekuatan untuk menjelaskannya semua nanti ke Mama.
                   Semoga semua makhluk hidup berbahagia. Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.

December 09,2011
* Lama : bhiksu Buddhis Tibetan
* Rinpoche : bhiksu/pemimpin spiritual yang dihormati dalam buddhis Tibetan.

Wednesday, December 7, 2011

Ketika Cinta Harus Memilih....


        Lelaki yang berdiri di hadapannya memandang Erga dengan  tajam. Sepasang matanya yang kelam seolah  menusuk ke dalam hatinya yang paling dalam.  Erga membuang pandangannya jauh-jauh. Ah, ingin rasanya dia berteriak keras-keras, mengeluarkan semua sakit  dan kesedihan hatinya
        " Jangan meminta aku memilih antara ibu dan kamu, Dit..." desahnya perlahan. Rasa-rasanya dia ingin menangis. Betapa dia sangat mencintai sosok yang berdiri di hadapannya. Betapa dia sangat ingin memiliki dan tidak ingin melepaskannya. Tetapi wajah ibu yang membesarkannya sejak kecil menari-nari dalam bayangan pikirannya.
        "Tapi memang sekarang kamu memilih ibumu ketimbang aku..." suara itu pelan, penuh dengan kesedihan. Galau. Penuh dengan keputusasaan.
         Erga tidak ingin menjawab. Digigitnya bibirnya yang bawah sambil menahan rasa pilu di hati. Desir angin dingin yang terbawa dari lembah gunung Salak menyerpa wajahnya sejenak. Hatinya begitu miris mendengar ucapan orang yang sangat dicintainya itu.
        Tiga tahun kebersamaan mereka. Bukan waktu yang singkat. Semua begitu indah. Biduk yang mereka bangun bersama-sama harus porak poranda sekarang. Ah, seandainya mereka tidak bertemu. Seandainya dia tidak ingin memulainya..... Tapi semua sudah terjadi. Mereka sudah mengarungi banyak hal dalam rentang waktu yang cukup lama. Dan sekarang.... dia yang harus mengakhirinya.
        "Aku anak laki-laki tunggal, Dit. Ibu dan Bapak sakit-sakitan. Aku tidak tega menyakiti hati mereka, " ujar Erga perlahan. " Seperti yang aku tawarkan kemarin... kita masih bisa... bersama-sama..." ujarnya ragu dengan lidah kelu.
        "Tidak akan pernah! Tidak akan pernah kita berhubungan lagi kalau mas Erga sudah menikah. Itu adalah prinsip. Aku tidak mau menyakiti istri mas Erga..." Kalimat itu sangat tegas, meskipun suaranya bergetar.
        Erga menghempaskan napas . Dadanya sesak oleh keperihan. Hatinya pilu. Lidahnya kelu. Ah, apakah menjadi orang seperti dia adalah benar-benar pilihan? Apakah pertemuan mereka dulu secara tidak sengaja di social networking adalah pilihan? Kalau benar semua itu adalah pilihan, dari sejak dilahirkan dia ingin memilih jadi lelaki normal seperti teman lelaki yang lain. Pacaran, fool around dengan gadis-gadis cantik dan kemudian menikah. Punya cucu untuk kedua orang tuanya. Buat apa habis waktu menjalani semua ini dan sekarang harus  menyakiti orang yang begitu dicintainya.
       Ah, kalau saja bisa memilih. Erga menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Rasa-rasanya dia tidak pernah diberikan pilihan sejak dilahirkan dulu. Dari kecil, seingat dia, sejak sekolah SD, dia sudah merasa dia berbeda dengan teman-teman yang lain. Dia lebih suka memperhatikan teman sesama lelakinya daripada teman wanitanya. Dulu, dia belum mengerti perasaan aneh seperti itu. Hingga suatu hari dalam acara camping, di dalam tenda, salah seorang kakak kelas pembimbingnya melakukan sesuatu terhadapnya. Dalam gelap pekatnya malam, saat itu dia sendiri heran, alih alih dia berteriak, tapi justru malah menikmatinya.
       Mungkinkah kedua orang tuanya salah mengasuhnya? Mungkinkah dia mengalami kelainan di otaknya? Erga tidak punya jawabannya. Yang dia tahu adalah dia salah seorang siswa sangat berprestasi di sekolah. Dan kedua orang tuanya selalu bangga apabila bercerita tentang anak laki satu-satunya itu kepada saudara orang tuanya.
Kalau saja Mama menyadari dia berbeda.. Kalau saja Papa tahu... Tidak. Erga tidak pernah memiliki keberanian untuk menceritakannya. Dia tidak tega menyakiti orang yang melahirkan dan membesarkannya sampai sekarang. Sampai sukses duduk sebagai pucuk pimpinan suatu perusahaan asing. Bukan begitu cara membalas budi kedua orang tuanya.
       "Mas.... " Lamunannya buyar oleh suara tangis tertahan itu. Adit mendekati dan menghamburkan diri ke dalam pelukannya. Dipeluknya sosok yang atletis itu. Diraihnya ke dalam pelukannya. Dibiarkannya tangisan pemuda itu pecah dalam rangkulannya.
       "Aku bisa mengerti, Mas. Aku juga akan melakukan hal yang sama kalau aku dihadapkan pada kondisi seperti mas Erga seperti sekarang..."  ucap Adit perlahan sambil terisak. "Aku rela, Mas. Mas Erga harus tahu, bersama dengan mas Erga adalah hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupku.."
       Erga ikut terisak. Oh, kenapa harus ada dua pilihan? Kenapa tidak bisa meraih kedua-duanya? Ah, kalau saja dia dulu tega meninggalkan Indonesia dan kerja di Eropa seperti salah seorang kakaknya, dia tentunya tidak perlu mengalami semua kegalauan ini.  Mungkin juga tidak pernah bertemu Adit, dan tentu saja tidak perlu melukai hatinya.
     Kalau saja dia bisa memilih...... batinnya sedih dan galau. Tetapi hidup seringkali tidak bisa memilih. Seringkali hidup hanya diberikan pilihan untuk  dijalanin.  Meski harus mengorbankan kebahagiaan diri sendiri...
     Desir angin dingin dari lembah gunung Salak menerpa wajahnya yang basah. Dipeluknya pemuda dalam rangkulan tubuhnya erat-erat, seolah-olah tidak ingin dilepaskannya. Biarlah saat-saat  terakhir ini menjadi milik mereka berdua.
     Sepulang dari gunung Salak ini suatu perjalanan hidup yang lain telah menantinya. Dalam hati Erga berjanji, biarlah lelaki yang jauh lebih muda darinya ini adalah yang terakhir dalam hatinya. Dia tidak sanggup menyakiti hati orang lain lagi. Biarlah hanya Adit yang pernah merasakan kasih sayang dan juga sakit hati karna dirinya.  Biarlah ini menjadi perjalananan cinta dengan sesamanya yang terakhir kali. Biarlah cinta harus memilih demi kebahagiaan kedua orang tuanya, meskipun dengan hati penuh kegalauan dan kesedihan yang mendalam......


Memo 08/12/2011